Rabu, 05 Januari 2011

Berencana dan bercita-cita boleh saja, asalkan kita tidak lupa untuk berada di level mewujudkannya, bukan hanya di level bermimpi.

2010 akan segera berakhir. Cepat sekali bukan? Seperti biasa kita akan mengenang kembali apa yang telah terjadi dalam 1 tahun ini. Begitupun otomatis kita jadi berpikir dengan rencana kita tahun depan.



Saya memilih untuk berkonsentrasi mewujudkan cita-cita dalam berbagai tindakan saya, dibanding berkonsentrasi dalam berencana dan bermimpi. Saya sadar, terkadang kita berkonsentrasi untuk ingin ini dan itu, tapi bukan berkonsentrasi dalam mewujudkan ini itu. ‘Ingin’ dan ‘bertindak mewujudkan’ adalah 2 hal yang berbeda.



Berencana dan bercita-cita boleh saja, asalkan kita tidak lupa untuk berada di level mewujudkannya, bukan di level wacana, bukan hanya di level bermimpi.



Terkadang kita juga begitu menginginkannya cita-cita kita terwujud, hingga lupa berproses. Lupa bahwa beberapa hal tertentu, bahkan banyak hal yang ternyata butuh waktu yang lama untuk mewujudkannya. Kita terobsesi untuk menjadikan impian segera nyata, ingin instant, akhirnya menjadi seseorang yang tidak ‘menapak’, tidak realistis, tidak matang.  Berproses adalah hal yang alami dalam kehidupan dan dapat membuat diri kita matang. Proses harus dijalani dengan awareness, alias kesadaran, tentang mengapa, apa,bagaimana, dimana, kemana, kapan dan siapa yang sedang berproses disini. 



Dalam perjalanan berprosespun kita harus senantiasa ‘berhenti’ untuk menempatkan diri dilingkar luar proses tersebut, supaya kita bisa melihat proses tersebut dalam sebuah perspektif dari luar ke dalam. Kalau kita tenggelam dalam lingkar dalam proses itu saja, kita bisa saja jadi kehilangan perspektif dan kehilangan objektifitas dari kenapa kita berproses. Sama halnya seperti jika kita jalan disebuah bukit. Apabila kita sibuk menaiki bukit tersebut, dan tidak berhenti untuk melihat disekeliling dan bukit dibawah yang sudah kita lewati, kita jadi lupa sudah seberapa tinggi kita menapaki bukit tersebut. 

Terlalu asik berproses sampai lupa pada tujuan asalnyapun bisa membuat kita kehilangan arah.



Bahkan dengan berhenti dan melihat sudah seberapa jauh kita melangkah pada bukit tersebut, kita bisa bersyukur atas pencapaian yang sudah tercapai selama menapaki bukit itu, dan kita juga jadi bisa menikmati  indahnya pemandangan bukit yang kita lewati. Begitupun konteksnya dalam hidup. Untuk berhenti dan mengevaluasi proses dalam berkehidupan, sama pentingnya dengan mensyukuri tiap langkah proses yang sudah di lewati dan menikmati setiap prosesnya.



Terlalu asik berproses sampai lupa pada tujuan asalnyapun bisa membuat kita kehilangan arah. Jika kita sadar akan hal tersebut, tentu itu menjadi tidak terlalu bermasalah. Terkadang membiarkan diri ‘kehilangan arah’ itu baik, jika memang ‘kehilangan arah’ tersebut dilewati dengan k-e-s-a-d-a-r-a-n. Untuk dimengerti disini, ’kehilangan arah’ disini bukanlah dalam konteks pengerusakan diri, tetapi lebih dalam konteks eksplorasi kehidupan dan eksplorasi diri yang dilakukan dengan sadar dan bertanggung jawab. 



Namun jika terlampau asik berproses dan sama sekali tidak menjalaninya dalam level kesadaran hingga lupa tentang kenapa dan apa objektifitas kita dalam berproses serta kemana arah proses kita ini, bisa-bisa proses yang kita alami dalam mencapai cita-citapun tidak efektif, bahkan bisa saja proses yang kita jalani menimbulkan kerusakan yang merugikan diri kita . Jadi, berprosespun harus dilakukan dengan s-a-d-a-r.



Mungkin saja, hidup bukan dinilai dari seberapa besar dan hebat rencana kita tiap tahun. Tapi seberapa kita sadar dalam menjalani proses berkehidupan. Karena pada akhirnya, kesadaran tersebutlah yang menentukan kualitas kehidupan kita.



Selamat berproses dengan sadar.